Matahari masih tertunduk malu dan ayam-ayam pun masih riang berkokok,
titik-titik embun tampak menyelimuti dedaunan tanda sudah tibanya
saatnya mewarnai hari dengan segala aktivitas yang produktif. Dalam
suasana penuh kesejukan mereka semua bersiap-siap untuk pergi menunaikan
tugas, menyiapkan, merawat, menuai ataupun telah mulai memetik hasil
dari upaya memakmurkan bumi dengan segala sumber daya alamnya. Pagi itu
terasa sangat dinamis, dengan mulai ramainya aktivitas para petani.
Tiada lain mereka adalah pahlawan yang sangat berjasa dan tanpa lelah
berupaya menyediakan bahan pangan dari berbagai sumber. Tanaman, hewan,
ikan dari kebun, ladang, kandang dan kolam yang mereka rawat dengan
penuh harap mampu mencukupi tuntutan hidup mereka secara pribadi serta
mampu menyokong perekonomian untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya
seperti orang kebanyakan.
Suatu tulisan ungkapan hati dari seorang pengusaha pertanian Bapak
Wayan Supadno dalam sebuah majalah berjudul “bangkit tani”, dimana
beliau menuliskan bahwa
“
seorang petani adalah bagaikan akar bunga mawar merah, letaknya
dibawah tak masalah. Kerjanya setia mencari makan untuk semua, kadang
terabaikan juga tak masalah. Walaupun sejujurnya jika tanpa akar maka
batang, daun dan bunga yang selalu dipuja karena keindahannya dan
wanginya akan layu seketika.”
Berjasa memang sungguh berjasa, mereka para petani yang notabene
merupakan jumlah terbesar dari komposis total penduduk bangsa ini.
Secara logika wajar memang dengan situasi, karakter dan potensi negara
kepulauan yang berada di zona iklim tropis ini memiliki banyak penduduk
berprofesi sebagai petani. Tapi sebuah pertanyaan besar terpampang yang
sesungguhnya begitu dekat tapi amat sulit dilihat. Banyak media
elektronik dan media massa lainnya menyoroti betapa kurang
menjanjikannya kehidupan sebagai petani dari kacamata finansial
individual. Kira-kira apa ya penyebabnya??
Wacana pembangunan di berbagai sektor mensyaratkan pemanfaatan lahan
yang mulanya diberdayakan untuk kegiatan agraris menjadi teralihkan ke
dalam aktivitas non agraris. Secara ilmiah berdasarkan hasil kajian
Lily Fauzia mengenai dampak alih fungsi lahan pertanian menunjukan
bahwa terbukti secara signifikan mampu mengubah peta keprofesian
penduduk suatu daerah dan mampu menciptakan suatu kondisi penyerapan
tenaga kerja sebagai seorang karyawan. Prosentasenya mencapai 40 %
dari anggota keluarga suatu daerah yang terkena dampak peralihan fungsi
lahan, dan 31,5 % bagi suatu daerah yang belum terkena alih fungsi
lahan. Entah itu suatu peluang ataukah ancaman…?? ibarat sekali
mendayung dua pulau terlampaui, upaya pengalihan fungsi lahan pertanian
menyebabkan berkurangnya sarana pemberdayaan pertanian juga sekaligus
mengalihkan profesi dari petani menjadi karyawan.
Kalau menurut data Ditjen PMD Depdagri, lahan garapan produktif dengan
luas dibaawah 0.5 hektar dimiliki oleh 16,5 juta rumah tangga petani.
Pada tahun 2009 menurut mantan Mentan Anton Apriantono bahwa telah
terjadi alih fungsi lahan yang tiap tahunnya mencapai 330 ribu hektar
lahan produktif. Penguasaan lahan yang tak seimbang pun tampak jelas
didepan mata, dan dari data Ditjen PMD Depdagri dimana sebanyak 70 %
petani kita hanya menguasai 13 % dari total luas lahan pertanian, dan
hanya 30 % yang menguasai 87% luas lahan. Parahnya lagi
pengalihfungsian lahan dilakukan secara sistematis oleh Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi dengan Kabupaten/Kota yang jumlahnya mencapai 3,1
juta hektar, padahal luas lahan sawah bangsa ini hanya seluas 7,99
juta hektar.
0 Komentar: