Petani, Riwayatmu Kini dan Nanti (1)

Matahari masih tertunduk malu dan ayam-ayam pun masih riang berkokok, titik-titik embun tampak menyelimuti dedaunan tanda sudah tibanya saatnya mewarnai hari dengan segala aktivitas yang produktif. Dalam suasana penuh kesejukan mereka semua bersiap-siap untuk pergi menunaikan tugas, menyiapkan, merawat, menuai ataupun telah mulai memetik hasil dari upaya memakmurkan bumi dengan segala sumber daya alamnya. Pagi itu terasa sangat dinamis, dengan mulai ramainya aktivitas para petani. Tiada lain mereka adalah pahlawan yang sangat berjasa dan tanpa lelah berupaya menyediakan bahan pangan dari berbagai sumber. Tanaman, hewan, ikan dari kebun, ladang, kandang dan kolam yang mereka rawat dengan penuh harap mampu mencukupi tuntutan hidup mereka secara pribadi serta mampu menyokong perekonomian untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya seperti orang kebanyakan.

Suatu tulisan ungkapan hati dari seorang pengusaha pertanian Bapak Wayan Supadno dalam sebuah majalah berjudul “bangkit tani”, dimana beliau menuliskan bahwa
“ seorang petani adalah bagaikan akar bunga mawar merah, letaknya dibawah tak masalah. Kerjanya setia mencari makan untuk semua, kadang terabaikan juga tak masalah. Walaupun sejujurnya jika tanpa akar maka batang, daun dan bunga yang selalu dipuja karena keindahannya dan wanginya akan layu seketika.”

Berjasa memang sungguh berjasa, mereka para petani yang notabene merupakan jumlah terbesar dari komposis total penduduk bangsa ini. Secara logika wajar memang dengan situasi, karakter dan potensi negara kepulauan yang berada di zona iklim tropis ini memiliki banyak penduduk berprofesi sebagai petani. Tapi sebuah pertanyaan besar terpampang yang sesungguhnya begitu dekat tapi amat sulit dilihat. Banyak media elektronik dan media massa lainnya menyoroti betapa kurang menjanjikannya kehidupan sebagai petani dari kacamata finansial individual. Kira-kira apa ya penyebabnya??

Wacana pembangunan di berbagai sektor mensyaratkan pemanfaatan lahan yang mulanya diberdayakan untuk kegiatan agraris menjadi teralihkan ke dalam aktivitas non agraris. Secara ilmiah berdasarkan hasil kajian Lily Fauzia mengenai dampak alih fungsi lahan pertanian menunjukan bahwa terbukti secara signifikan mampu mengubah peta keprofesian penduduk suatu daerah dan mampu menciptakan suatu kondisi penyerapan tenaga kerja sebagai seorang karyawan. Prosentasenya mencapai 40 % dari anggota keluarga suatu daerah yang terkena dampak peralihan fungsi lahan, dan 31,5 % bagi suatu daerah yang belum terkena alih fungsi lahan. Entah itu suatu peluang ataukah ancaman…?? ibarat sekali mendayung dua pulau terlampaui, upaya pengalihan fungsi lahan pertanian menyebabkan berkurangnya sarana pemberdayaan pertanian juga sekaligus mengalihkan profesi dari petani menjadi karyawan.

Kalau menurut data Ditjen PMD Depdagri, lahan garapan produktif dengan luas dibaawah 0.5 hektar dimiliki oleh 16,5 juta rumah tangga petani. Pada tahun 2009 menurut mantan Mentan Anton Apriantono bahwa telah terjadi alih fungsi lahan yang tiap tahunnya mencapai 330 ribu hektar lahan produktif. Penguasaan lahan yang tak seimbang pun tampak jelas didepan mata, dan dari data Ditjen PMD Depdagri dimana sebanyak 70 % petani kita hanya menguasai 13 % dari total luas lahan pertanian, dan hanya 30 % yang menguasai 87% luas lahan. Parahnya lagi pengalihfungsian lahan dilakukan secara sistematis oleh Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dengan Kabupaten/Kota yang jumlahnya mencapai 3,1 juta hektar, padahal luas lahan sawah bangsa ini hanya seluas 7,99 juta hektar.

0 Komentar: